SHARING SUKA SUKA

Gudang Ilmu dan Media Sharing

Total Pageviews

Tuesday 22 May 2012


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa yang penting karena biasanya di masa ini seseorang selalu berusaha untuk mencari jati diri, masa untuk melepaskan diri dari lingkungan orang tua. Tentunya nilai-nilai dalam kehidupan sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dalam mencari jalan untuk menumbuhkan jati dirinya.Tentunya sikap dari remaja tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai dan moral-moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral dan segala perbuatannya selaras dengan kenyataan yang ada di dunia sekelilingnya.
Tetapi hal itu belum tentu terjalin dengan baik. Adakalanya seorang individu yang pada waktu tetentu melakukan perbuatan yang tercela tanpa menyadarinya, dan bahkan ia tidak tahu bahwa hal terasebut melanggar norma-norma di dalam masyarakat. Disamping itu remaja di Indonesia lebih cendrung mengikuti pola-pola kehidupan atau lebih dikenal dengan istilah budaya barat. Fatalnaya remaja-remaja masa kini kurang mampu memfilter(menyaring) budaya barat yang dapat merusak kehidupanya. Yang sangat tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Untuk itu, makalah ini akan membahas tentang perkembangan nilai, moral dan sikap dari pada remaja. Karena antara nilai moral dengan tindakan tidak selalu terjadi hubungan yang positif, mengingat tingkat emosi pada usia remaja masih sangat labil. Oleh karena itu, peranserta orang tua, guru, teman-teman dan lingkungan sekitar sangat mempengaruhi.
B.   Rumusan Masalah
1.    Apa itu nilai,moral dan sikap ?
2.    Bagaimanakah tahapan-tahapan nilai moral dan sikap remaja ?
3.    Bagaimanakah perkembangan nilai moral dan sikap remaja ?
C.   Tujuan penulisan
1.    Dapat mengetahui apa itu nilai,moral dan sikap.
2.    Mampu menjelaskan tahapan-tahapan perkembangan nilai moral dan sikap remaja.
3.    Mampu menjelaskan tentang perkembangan nilai moral dan sikap remaja.
D.   Mamfaat Penulisan
1.    Dapat menambah wawasan terhadap fenomena yang terjadi dalam kehidupan usia remaja.
2.    Sebagai sumber pembelajaran bagi seluruh kalangan yang membutuhkan makalah ini.
3.    Sebagai bahan pegangan dalam persentasi

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Definisi Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Apabila  yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya.
Sikap merupakan proses sosialisasi dimana seseorang akan bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya”. (Mar’at,1981:9). Maksudnya, sesorang akan bereaksi apabila rangsangan yang diberikan oleh seorang komunikator dapat diterima oleh komunikan yang diakibatkan dari adanya hidup bermasyarakat.
Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
1. Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
2.  Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.
3. Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut
B.    Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya.
 Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.
C.    Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.
Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol yang berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan akan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman,pegangan,atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang(Sarwono,1989). Pembentukan nilai-nilai baru ini dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal,yakni mulai mampu berfikir abstrak dan mulai mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetis,maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu,tempat,dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka(Gunarsa,1988). Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai walau belum mampu mempertanggungjawabkannya secara pribadi(Monks,1989). Perkembangan pemikiran moral remaja yang demikian ini,jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensional. Pada akhir masa remaja akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral berikutnya yang disebut dengan tahap pasca konvensional/dimana orisinalitas pemikiran moral remaja sudah semakin tampak jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat atau pranata-pranata yang bersifat konvensional.
Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menantang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya(Gunarsa 1988),apalagi kalau orang tua atau orang dewasa lainnya berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang melawan pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja ini merupakan gejala wajar yang terjadisebagai unjuk kemampuan berpikir kritis terhadap segala sesuatau yang dihadapi dalam realitas. Gejala dikap menentang pada remaja itu hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
Lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja menurut michael yaitu:
1.    pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrae
2.     keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan
3.    penilaian moral menjadi semakin kognitif
4.    penilaian moral menjadi kurang egoistic
5.    penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal
Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh kolhberg mengemukakan 6 tahap(stadium) perkembangan moral. Ada tinkat perkembangan moral menurut kolhberg, yaitu tingkat:
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:
1.    Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas
Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan
2.     Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3.     Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah
D.   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat :
1.    Lingkungan Keluarga
keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan didalamnya anak mendapatkan pendidikan yang  pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak yang belum sekolah. keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang  memilikidan menjunjung tinggi nilainilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan prilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua
2.    Lingkungan Pendidikan (Sekolah)
Lingkungan pendidikan setelah keluarga, adalah lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lembaga formal yang di serahi tugas untuk menyelenggarakan pendidikan tentunya tidak kecil perananya dalam membantu perkembangan hubungan sosial remaja.
 Dalam konteks ini, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis. Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh,
perkembangan hubungan sosial remaja akan terganggu. Untuk itu guru harus mampu mengembangkan perannya selain sebagai guru juga sebagai pemimpin yang demokratis. Artinya, selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya mentrasfer pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab.
3.    Lingkungan Sosial
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi – tradisi sosial dan tekanan – tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan  berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.

E.    Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap.
Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan selebritis.
Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya
F.     Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan.
Pendidikan tersebut dapat dilakukan di rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
1. Pendidikan moral dalam rumah tangga
pertama-tama yang harus diperhatikan adalah penyelamatan hubungan ibu-bapak, sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya.
Pendidikan moral yang paling baik, terdapat dalam agama, karena nilai moral yang dapat dipatuhi dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari luar, hanya dari kesadaran sendiri, datangya dari keyakinan sendiri.
Orang tua harus memperhatikan pendidikan moral serta tingkah laku anak-anaknya.
Pendidikan dan perlakuan orang tua terhadap anaknya hendaknya menjamin segala kebutuhannya, baik fisik ataupun psikis ataupun sosial.
2. Pendidikan moral dalam sekolah
Hendaknya dapat diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik.
Pendidikan agama, haruslah dilakukan secara intensif Hendaknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran (baik guru, pegawai , buku, peraturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik kepada pembinaan mental yang sehat.
3. Pendidikan moral dalam masyarakat
sebelum menghadapai pendidikan anak, maka masyarakat yang telah rusak moralnya diperbaiki terlebih dahulu.
Mengusahakan supaya masyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan moral anak.
Supaya segala mas media , terutama siaan radio dan TV., memperhatikan setiap macam uraian, petunjukan, kesenian dan ungkapa tidak boleh bertentangan dengan agama.

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1.    Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu.
2.    Moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari.
3.    Sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya.
Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut
Faktor dan Upaya yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja yaitu factor lingkungan keluarga, sekolah, dan Masyarakat. Yang menimbulkan perbedaan bagi setiap individu sesuai dengan cara menyikapinya.


B.   Saran
1.    Sebagai generasi penerus marilah kita menumbuhkembangkan nilai moral dan sikap kearah yang lebih baik.
2.    Guru dan Orang tua sebaikya bekerja sama dalam mendidik anak-anaknya
3.    Masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam mencegah anak amoral dan mendukung anak bermoral.










DAFTAR PUSTAKA
·         Fanydiamanti,2011. Perkembangan nilai dan sikap. http ://www.slideshare.net/FanyDiamanti/perkembangan-nilai-dan-sikap.pukul 8,tanggal 21-5-2012.
·         Marabpisurya.2010.perkembangan nilai moral dan sikap. http://marabpisurya.blogspot.com/2010/05/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap.html. Pada pukul 7, tanggal 21-5-2012.
·         reskisejarah2011.perkembangan nilai moral dan sikap remaja. http://reskisejarah2011.student.ung.ac.id/2012/03/08/hello-world/. Pada pukul 9, tanggal 21-5-2012.
·         aQuWmaiia.perkembangan nilai moral dan sikap.http://www.scribd.com/aQuWmaiia/d/33151804-Perkembangan-Nilai-Moral-dan-Sikap.pada tanggal 21-5-2012.